Bupati Banyumas, Achmad Husein menilai putusan Mahkamah Agung menyangkut sengketa sewa-menyewa lahan negara di Kebondalem Kota Purwokerto, tidak adil. ''Namun bagaimana lagi? putusannya sudah inkrah sehingga Pemkab mau tidak mau harus melaksanakan putusan tersebut,'' jelas Bupati, Rabu (15/3).
Menurutnya, dalam kasus sengketa tersebut, Pemkab Banyumas sudah melakukan berbagai upaya hukum. Bahkan, hingga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA yang ditetapkan sebelumnya.
Namun dalam putusan PK tersebut, MA tetap mengukuhkan putusan sebelumnya yang menyatakan bahwa Pemkab harus membayar ganti rugi senilai miliaran rupiah terhadap pengembang yang sebelumnya mengadakan perjanjian sewa-menyewa dengan Pemkab.
Bupati menyebutkan, dalam amar putusan MA tersebut, MA mewajibkan Pemkab untuk membayar denda senilai Rp 41 miliar pada PT Graha Cipta Guna (GCG) yang sebelumnya mengikat perjanjian sewa-menyewa lahan Pemkab di kawasan pusat perniagaaan Kebondalem.
Bupati menyebutkan, MA juga memutuskan bahwa perjanjian kerja sama antara Pemkab dan PT CGC harus dimulai dari awal lagi sejak MA memenuhi kewajiban membayar denda. Dengan putusan tersebut, mau tidak mau Pemkab harus memberikan izin PT CGC untuk mengelola kawasan tersebut selama 30 tahun sebagaimana perjanjian semula.
''Klausul ini yang memang terasa tidak adil. Kita sudah membayar denda ganti rugi, namun kok perjanjian kerja sama dengan pengembang harus dimulai dari nol lagi. Mestinya, setelah kita membayar denda maka lahan Kebondalem kembali pada Pemkab dan bebas akan diapakan oleh Pemkab,'' katanya.
Bupati mengaku, sempat mempertanyakan masalah ini pada pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto selaku pengacara negara. Namun diperoleh jawaban bahwa putusan tersebut sudah inkrah dan tidak ada upaya hukum lanjutan yang bisa dilakukan Pemkab, sehingga mau tidak mau Pemkab harus mematuhi.
Terkait hal inilah, Pemkab bersama Kejari kemudian melakukan negosiasi untuk menurunkan kewajiban denda yang harus dibayarkan Pemkab. Melalui negosiasi yang alot, akhirnya pihak pengembang bersedia menerima pembayaran denda hanya sebesar Rp 22 miliar dari Rp 41 miliar yang semula ditetapkan MA.
Berdasarkan kesepakatan itu pula, Pemkab mulai melakukan pembayaran pada pihak pengembang secara bertahap selama tiga tahun anggaran. Pembayaran pertama dibayarkan pada Januari 2017 lalu, sebesar Rp 10,5 miliar. Sisanya, akan dilunasi dua tahun kemudian.
Husein mengaku, bagi orang yang tidak mengetahui duduk persoalannya, mungkin akan menganggap Pemkab terlalu lunak dalam menyikapi putusan tersebut. ''Padahal tidak seperti itu. Pemkab Banyumas sudah melakukan berbagai upaya agar putusan tersebut bisa memenuhi rasa keadilan kita bersama. Tapi kenyataannya seperti itu,'' jelasnya.
Bupati menyebutkan, yang terpenting dalam kasus sengekta tersebut, adalah mengenai bagaimana Kebondalem selanjutnya. ''Ini yang masih akan kita bicarakan lagi dengan pihak pengembang. Mau diapakan lahan itu oleh pengembang, kita harus tahu. Demikian juga dengan soal konsensi-konsesi yang seharusnya diperoleh Pemkab,'' katanya.
Kasus sengketa kawasan Kebondalem, sebenarnya merupakan persoalan lama yang hingga kini masih belum terselesaikan. Sengketa tersebut juga menyebabkan lahan seluas sekitar 3,4 hektar di kawasan niaga Kota Purwokerto mangkrak selama puluhan tahun.
Persoalan terjadi tahun 1980-an, saat Pemkab menjalin kerja sama dengan investor membangun kawasan bekas terminal Kota Purwokerto ini menjadi kawasan pusat hiburan dan bisnis berlantai tiga yang saat itu direncanakan paling megah. Dalam perjanjian disepakati, pembangunan akan dilakukan bertahap mulai tahun 1988 dengan hak pengelolaan selama 30 tahun.
Namun saat investor mulai melakukan pembangunan, terjadi perbedaan pendapat dengan Pemkab. Saat itu, Bupati Banyumas Rudjito dan Gubernur Jateng HM Ismail menginginkan kawasan Kebondalem diubah menjadi kawasan perdagangan PKL.
Menyikapi hal ini, pihak investor kemudian menghentikan pembangunan sehingga bangunan yang sudah dibeton rangka berlantai tiga menjadi mangkrak. Belakangan diketahui, pihak investor telah mengajukan gugatan atas kasus ini dan dimenangkan oleh MA di tingkat kasasi http://nasional.republika.co.id
Menurutnya, dalam kasus sengketa tersebut, Pemkab Banyumas sudah melakukan berbagai upaya hukum. Bahkan, hingga mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA yang ditetapkan sebelumnya.
Namun dalam putusan PK tersebut, MA tetap mengukuhkan putusan sebelumnya yang menyatakan bahwa Pemkab harus membayar ganti rugi senilai miliaran rupiah terhadap pengembang yang sebelumnya mengadakan perjanjian sewa-menyewa dengan Pemkab.
Bupati menyebutkan, dalam amar putusan MA tersebut, MA mewajibkan Pemkab untuk membayar denda senilai Rp 41 miliar pada PT Graha Cipta Guna (GCG) yang sebelumnya mengikat perjanjian sewa-menyewa lahan Pemkab di kawasan pusat perniagaaan Kebondalem.
Bupati menyebutkan, MA juga memutuskan bahwa perjanjian kerja sama antara Pemkab dan PT CGC harus dimulai dari awal lagi sejak MA memenuhi kewajiban membayar denda. Dengan putusan tersebut, mau tidak mau Pemkab harus memberikan izin PT CGC untuk mengelola kawasan tersebut selama 30 tahun sebagaimana perjanjian semula.
''Klausul ini yang memang terasa tidak adil. Kita sudah membayar denda ganti rugi, namun kok perjanjian kerja sama dengan pengembang harus dimulai dari nol lagi. Mestinya, setelah kita membayar denda maka lahan Kebondalem kembali pada Pemkab dan bebas akan diapakan oleh Pemkab,'' katanya.
Bupati mengaku, sempat mempertanyakan masalah ini pada pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto selaku pengacara negara. Namun diperoleh jawaban bahwa putusan tersebut sudah inkrah dan tidak ada upaya hukum lanjutan yang bisa dilakukan Pemkab, sehingga mau tidak mau Pemkab harus mematuhi.
Terkait hal inilah, Pemkab bersama Kejari kemudian melakukan negosiasi untuk menurunkan kewajiban denda yang harus dibayarkan Pemkab. Melalui negosiasi yang alot, akhirnya pihak pengembang bersedia menerima pembayaran denda hanya sebesar Rp 22 miliar dari Rp 41 miliar yang semula ditetapkan MA.
Berdasarkan kesepakatan itu pula, Pemkab mulai melakukan pembayaran pada pihak pengembang secara bertahap selama tiga tahun anggaran. Pembayaran pertama dibayarkan pada Januari 2017 lalu, sebesar Rp 10,5 miliar. Sisanya, akan dilunasi dua tahun kemudian.
Husein mengaku, bagi orang yang tidak mengetahui duduk persoalannya, mungkin akan menganggap Pemkab terlalu lunak dalam menyikapi putusan tersebut. ''Padahal tidak seperti itu. Pemkab Banyumas sudah melakukan berbagai upaya agar putusan tersebut bisa memenuhi rasa keadilan kita bersama. Tapi kenyataannya seperti itu,'' jelasnya.
Bupati menyebutkan, yang terpenting dalam kasus sengekta tersebut, adalah mengenai bagaimana Kebondalem selanjutnya. ''Ini yang masih akan kita bicarakan lagi dengan pihak pengembang. Mau diapakan lahan itu oleh pengembang, kita harus tahu. Demikian juga dengan soal konsensi-konsesi yang seharusnya diperoleh Pemkab,'' katanya.
Kasus sengketa kawasan Kebondalem, sebenarnya merupakan persoalan lama yang hingga kini masih belum terselesaikan. Sengketa tersebut juga menyebabkan lahan seluas sekitar 3,4 hektar di kawasan niaga Kota Purwokerto mangkrak selama puluhan tahun.
Persoalan terjadi tahun 1980-an, saat Pemkab menjalin kerja sama dengan investor membangun kawasan bekas terminal Kota Purwokerto ini menjadi kawasan pusat hiburan dan bisnis berlantai tiga yang saat itu direncanakan paling megah. Dalam perjanjian disepakati, pembangunan akan dilakukan bertahap mulai tahun 1988 dengan hak pengelolaan selama 30 tahun.
Namun saat investor mulai melakukan pembangunan, terjadi perbedaan pendapat dengan Pemkab. Saat itu, Bupati Banyumas Rudjito dan Gubernur Jateng HM Ismail menginginkan kawasan Kebondalem diubah menjadi kawasan perdagangan PKL.
Menyikapi hal ini, pihak investor kemudian menghentikan pembangunan sehingga bangunan yang sudah dibeton rangka berlantai tiga menjadi mangkrak. Belakangan diketahui, pihak investor telah mengajukan gugatan atas kasus ini dan dimenangkan oleh MA di tingkat kasasi http://nasional.republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar